Seventh-Day Adventist Church

Riverside Indonesian Seventh-Day Adventist Church 5430 Ridgeview Avenue, Mira Loma CA 91752

Menu

Bagaimanakah Sikap Kita Terhadap Trinitas?

 

<!-- /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->

Bagaimanakah Sikap Kita Kepada Trinitas?

 

Oleh Pdt. H. Muskita

 

Ada satu topik yang perlu dibahas didalam menjawab pertanyaan sehubungan dengan alkitab, terutama didalam membahas tema trinitas.  Pertanyaan-nya adalah bagaimanakah sikap intelektual kita pada waktu membaca alkitab?  Bagaimanakah pendekatan terhadap ayat alkitab?  Bagaimanakah kita memperlakukan ayat alkitab?

 

Bagaimanakah sikap kita waktu membaca Ulangan 6:4, dimana Alkitab berkata, “Allah itu satu.”  Bagaimanakah sikap kita waktu membaca Matius 24:36, waktu Yesus sendiri berkata, “Bapa saja yang tahu.”

 

Didalam pendekatan “modern”, ayat alkitab itu adalah obyek ditangan pembaca.  Maksudnya posisi pembaca berada “diatas” ayat alkitab.  Dia yang membaca, dia yang memilih mana point yang penting, dan dia yang menyimpulkannya. Ibaratnya seperti seorang membuka sebuah kotak kardus dan mencari2 selembar foto tertentu didalamnya.  Semua obyek yang lain yang ditemukan, karena bukan foto yang dicari, disingkirkan.  Seringkali didalam membaca alkitab, sikap kita seperti itu: kita sudah punya “agenda” / “keyakinan” / “pengertian” tertentu, dan kita cari itu didalam ayat2 alkitab: semua kalimat, ekspresi, kata2 yang tidak sesuai dengan agenda kita, kita buang dan singkirkan. 

 

Kata “modern” yang saya gunakan diatas tadi menunjuk pola berpikir (intelectual movement) yang berlangsung dari tahun 1630-1940.  Didalam sejarah budaya bangsa2 barat masa ini di sebut sabagai “jaman modern” sedangkan tahun 1920-1940 keatas disebut jaman “post-modern”.

 

Didalam pendekatan pola berpikir modern ini, cara pembacaan alkitab-nya disebut “systematic theology” – kita punya agenda, kita buka alkitab, kita cari ayat2 yang mendukung kita punya agenda, kita susun ayat2 itu secara sistimatis, dan kita menyodorkan suatu hasil karya penelitian.

 

Sayangnya pendekatan/pembacaan alkitab model begini sudah ketinggalan zaman.  Pendekatan yang lebih maju adalah menghormati text alkitab yang sedang kita baca.  Seperti orang menikmati sebuah lukisan.  Gantinya kita menentukan agenda kita sebelum kita melihat lukisan tsb, contoh ekstrim-nya seperti orang cari2 gambar ayam didalam sebuah lukisan tentang laut yang bergelora, dan pergi meninggalkan dan mempersalahkan lukisan itu karena tidak ada gambar ayam didalamnya.  Harusnya kita melihat lukisan sambil mencoba memahami dan menikmati topik atau tema apa yang hendak disampaikan dan ditekankan oleh sang pelukis. 

 

Demikian juga didalam membaca literature, kita datang kepada text dengan penuh hormat dan simpati, mencoba untuk mengerti, memahami apa yang hendak disampaikan oleh ayat itu, dan bagaimana cara ayat itu menyampaikan point yang hendak ditekankan.

 

Dengan latar belakang seperti ini, doktrin trinitas itu bukan ciptaan kita.  Kita tidak menyebut atau menyatakan bahwa Allah itu ada tiga, tetapi alkitab sendiri yang menyatakan hal itu, dan apa yang bisa kita lakukan adalah menghormati – dan mempercayai apa yang alkitab sampaikan.

 

Penjelasan untuk kedua ayat diatas (Ulangan 6:4 dan Matius 24:36) memang begitu.  Sekarang masalahnya adalah attitude kita: apa ayat kita buang krn pernyataan-nya tidak sesuai dengan apa yang kita mau?  Benar, Ulangan 6 menyatakan bahwa Allah itu satu.  Tetapi ayat2 lain di Perjanjian Lama memberi indikasi kepada “composite unity” – contohnya Kejadian 22 dibawah ini.

 

Genesis 22

11 Tetapi berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepadanya: "Abraham, Abraham." Sahutnya: "Ya, Tuhan."

 12 Lalu Ia berfirman: "Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku."

 13 Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya, yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya.

 14 Dan Abraham menamai tempat itu: "TUHAN menyediakan"; sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: "Di atas gunung TUHAN, akan disediakan."

 15 Untuk kedua kalinya berserulah Malaikat TUHAN dari langit kepada Abraham,

 16 kata-Nya: "Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri demikianlah firman TUHAN :Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku,

 17 maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya.

 18 Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku."

 

Didalam ayat ini terjadi pertukaran antara ”Malaikat Tuhan” dengan ”Aku” dengan ”Allah”.  Ini hanya satu contoh dari beberapa situasi dimana ”Malaikat Tuhan” dengan ”Tuhan”  saling bertukar (inter-change) satu sama lain didalam satu konteks yang sama.  Ditempat lain kita dapati inter-change itu terjadi antara ”Roh Tuhan” dengan ”Tuhan”.  Bagaimana sikap kita terhadap kenyataan ayat yang seperti ini?  Dari satu sisi alkitab menyatakan bahwa allah itu satu, tapi di sisi lain dinyatakan bahwa Malaikat Tuhan sebagai allah, dan demikian juga dengan Roh Tuhan.

 

Di alkitab Perjanjian Lama tidak ada istilah Allah Bapa, Allah Anak sama sekali.  Masuk ke Perjanjian Baru, tiba2 Yesus menyebut allah yang disurga sebagai “Bapa” dan dia menyebut dirinya sendiri sebagai “Anak”.  Sebagai respon, kita menyebut Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus.  Kita hanya mengikuti apa yang alkitab sampaikan.

 

Point penting lain.  Salah satu syarat utama untuk ke-ilahi-an adalah misteri.  Allah itu harus misterius.  Kalau sesuatu tidak misterius, maka kita didalam posisi yang superior dari dia.  Buat orang yang tidak mengerti pesawat terbang, komponen mesin pesawat terbang adalah “hebat” , mengagumkan dan misterius.  Tapi bagi orang yang menguasainya, dan memperbaiki, membongkar-pasang setiap hari, tidak ada yang ”hebat” dengan mesin pesawat.

 

Demikian juga dengan Tuhan, dia harus misterius supaya dia tetap Tuhan.  Jangan kecewa kalau kita tidak bisa mengerti dan memahami doktrin trinitas.  Salah satu statement yang SALAH yang seringkali disampaikan oleh para anggota jemaat adalah pertanyaan/pernyataan “masih ada beberapa diantara kami disini yang masih belum paham tentang doktrin trinitas” – doktrin tirinitas memang suatu misteri dan tidak akan bisa dipahami dengan tuntas sampai masa kekekalan sekalipun.  Dan bukan hanya “beberapa diantara kami disini” yang belum paham ttg doktrin trintitas; semua orang tidak paham ttg doktrin trinitas.  Karena kalau kita sudah bisa menjabarkan misteri ke-allah dengan tuntas menggunakan ekspresi bahasa manusia kita yang sangat terbatas ini, maka posisi kita sebagai manusia sudah diatas tuhan.  Sedangkan masih banyak obyek2 dan fenomena dialam ini yang masih misterius bagi manusia, apalagi misteri keallahan.

 

Ayat di Matius 24 itu memang berfungsi untuk menekankan sisi penjelmaan Yesus – ini bisa dilihat sebagai kekuatan atau kelemahan.  Sebagai kelemahan, kalau memang Yesus adalah Tuhan, kenapa dia tidak tau?  Sebagai kekuatan, betapa sempurna dan “real”-nya penjelmaan Yesus, sampai kemaha-tau-an Nya pun dia singkirkan waktu dia menjelma.  Kita mau pilih kesimpulan yang mana?  Terserah pembaca dan apa yang mau dicari/ditekankan dari ayat itu.

 

Terakhir, bicara ttg trinitas, proses logika-nya tidak bergerak dari (1) tidak tau – (2) mengerti – lalu jadi (3) percaya; tetapi adalah (1) tidak tau – (2) percaya – (3) mengerti – dan yang disebut “mengerti” disini lebih berat kepada percaya daripada pemahaman dalam arti menguasai segala seluk-beluknya sampai titik koma yang paling detail.